Perbedaan Status Perempuan Dengan Laki – laki Dalam Suku Batak Toba..
Dwi Theresia Sipangkar
3103122006
Antropologi Gender
PENDIDIKAN ANTROPOLOGI SOSIAL
Perbedaan Status Perempuan Dengan Laki – laki Dalam Suku Batak Toba..
Dalam
suku batak toba, perbedaan status lelaki dengan perempuan sangatlah mudah untuk
dilihat. Hal ini karena dalam suku batak, laki – laki merupakan pembawa marga (
garis keturunan laki – laki. Jadi anak laki – laki dalam batak sangat istimewa kedudukannya.
Contoh
yang dapat kita lihat dari suku batak toba ialah
Dalam
suku adat batak toba, jika dalam sebuah perkawinan muda telah berujung dalam
maut dimisalkan saja yang meninggal adalah seorang perempuan dan Perempuan tersebut meninggalkan anak dan
suaminya. Setelah istrinya dikuburkan dan dalam kelang waktu beberapa saat,
sang anak yang di tinggalkan ibunya tadi pasti akan diminta sang mertua atau
sang ibunya untuk merawat anaknya tersebut, dan sang suaminya tadi pergi
meninggalkan anaknya dengan alasan untuk mencari pekerjaan. Ketika sang suami
tersebut mempunyai keinginan untuk menikah lagi, pasti sang ayah langsung
diizinkan oleh keluarganya dan biasanya jika sang istri mempunyai adik
perempuan, tidak jarang adik perempuan itu di nikahinya, tetapi bagaimana jika
yang meninggal adalah sang laki – laki dan yang ditinggalkan adalah anak dan
istrinya? Apa yang akan terjadi kepada sang perempuan? Apakah sang perempuan
mendapatkan hak istemewa seperti apa yang didapat oleh si laki – laki?
Sebuah
realita yang nyata yang dapat kita lihat di kehidupan kita sehari – hari, tak
jarang perempuan batak yang telah di tinggalkan oleh suaminya tetap hidup
sendiri (janda) dan mengurus anak dengan seorang diri. Jika si perempuan meminta untuk menikah lagi,
pasti tak diizinkan oleh pihak keluarga dan
banyak dibicarakan oleh orang lain. Dalam hal ini saja dapat terlihat
bahwa dalam suku batak, khususnya dibatak toba adanya perbedaan gender yang
terjadi. Status dan kedudukan sang laki – laki lebih di hak istemewakan dari
pada hak seorang istri. Maka dapat kita lihat, tidak jarang perempuan batak
yang janda hidup sendiri, ia harus sanggup sebagai seorang ayah yang dapat
membiayai anak – anaknya dan seorang ibu
yang dapat mengurus anak – anaknya. Hidup bekerja keras untuk membiayai
keluarganya. Padahal jika kita pikir – pikir, seorang perempuan juga adalah
manusia yang mempunyai perasaan dan kebutuhan. Perempuan juga butuh teman untuk
tidur dan teman untuk berbagi cita dan duka.
Selain itu perbedaan gender
batak toba kita lihat dimana jika kita pergi ke huta ( perkampungan batak ) dapat kita lihat
ibu ibunya bekerja keras baik itu dirumah maupun diladang untuk memnuhi
kebutuhan keluarganya, tetapi sang suami malah enak – enak di kedai tuak berminum – minum dn bersenang –
senang. Jika sang suami pulang kerja kerumah ia harus dilayani, dari
mempersiapkan makanan, air mandinya dll. Jika semua permintaanya tidak diberikan ia akan marah – marah dan
memukul sang istri.
Perbedaan gender juga
terjadi kepada sang anak. Anak laki – laki dan anak perempuan. Dalam suatu rumah tangga, jika mereka tidak
mempunyai anak laki – laki mereka akan berusaha selalu membuat anak sampai
mereka mempunyai anak laki – laki. Karna laki – laki itu merupakan menjadi
garis keturunan sang ayah dan pembawa marga. Maka anak laki – laki sangat
istimewa, sehingga dalam kehidupan sehari – hari anak laki – laki sangat di
anak emaskan. Didalam kehidupan sehari – hari, anak laki – laki juga sangt
ditabukan untuk melakukan pekeeerjaan perempuan, anak laki – laki hanya
disiapkan untuk menjadi anak yang sukses dan di tuntut untuk belajar dan
belajar. Anak laki – laki walaupun dia masih duduk dibangku sekolah ( sma)
kedua orang tuanya sudah mempersiapkan anak laki – lakinya mau kemana ia akan
menempuh hidupnya, misalnya ia akan dipersiapakan mau kemana ia akan di sekolahkan
tingkat tinggi, orang tuanya tidak peduli mau brp hartanya habis asalkan anak
laki – lakinya dapat sukses. Bandingkan bagaimana jika keadaan itu terjadi pada
anak perempuannya? Orang tuaya akan berpikir 10 x untuk menyekolahkan
perempuannya tersebut, karena ayahnya berpikir anak perempuan ngapain
disekolahkan tinggi – tinggi toh juga anak perempuannya nanti hanya bekerja di
dapur.
Jika kita analisis kasus
ini, bagaimana tanggapan teman – teman? Menurut saya perbedaan gender telah
banyak membuat para perempuan tersiksa baik itu secara fisik dan psikologisnya(
batinnya). Maka perbedaan gender di masyarakat batak toba sebaiknya perlu si
indahkan. Agar tidak ada yang tersakiti da menyakiti hati perasaan manusia.
Laki dan perempuan merupakan makluk Tuhan, derajatnya sama.. Cuma satu
perbedaan diantara perempuan dan laki – laki yaitu perempuan dapat mengandung
dan melahirkan sedangkan laki – laki tidak dapat. Perempuan sekarang dapat juga
melakukan pekerjaan yang dilakukan oleh laki – laki yaitu mencari nafkah. Derajat
perempuan dan laki – laki boleh disamakan dan ayah tetap kepala keluarga.
MENURUTKU, tak seluruhnya benar anggapan atau
pendapat yang mengatakan bahwa perempuan menjadi inferior dalam sistem sosial
masyarakat Batak--dan sebaliknya, lelaki, berposisi superior. Benar, etnis
Batak menganut garis patrinial, namun tak berarti hak dan kedudukan perempuan
jadi tereduksi oleh sistem tersebut secara ekstrim.
Baiklah kita amati dan buktikan dalam
aktivitas kehidupan maupun hajatan adat. Peran serta perempuan begitu aktif.
Bahwa perempuan menjadi 'parhobas' dlm acara adat, itupun harus dilihat
posisinya dalam acara itu. Bila ia, misalnya, berkedudukan sebagai 'paniaran'
atau 'hula-hula' (istri tulang, istri saudara laki-laki), tentu ia tidak
dibolehkan 'marhobas' (yang mengurusi pesta atau hajatan, termasuk melayani
tetamu), sebab dianggap tidak pantas karena tugas tersebut merupakan kewajiban
perempuan (yang sudah menikah atau masih lajang) yang berstatus 'boru' dalam
kenduri adat tersebut.
Para 'paniaran' atau 'nantulang' maupun 'eda'
(ipar perempuan), dipersilakan duduk manis di tengah hajatan, tidak usah
menyampuri dapur atau harus ikut melayani tetamu. Tetapi di hajatan lain, di
mana ia tengah berposisi sebagai 'boru', tugas 'marhobas' itu sewajarnyalah ia
lakukan, itu pun bukan suatu hal yang imperatif atau memaksa, sebab bila
misalnya ada boru yang enggan terlibat, toh dibiarkan saja--paling disindir
para kerabatnya
Artinya, sistem adat Batak sebetulnya 'fair',
'just', memberi giliran bagi seseorang: di mana ia menjadi "bos" dan
kapan ia jadi "pelayan". Jangan salah pula, meski kedudukannya saat
itu sebagi 'boru', ia pun harus diperlakukan dengan baik (dielek), ada jambar
untuk mereka (hak adat, bisa berupa daging, kata sambutan/tanggapan, dll) untuk
mereka, juga ikan (dengke). Bila boru ngambek, misalnya, hajatan (ulaon) bisa
terancam gagal! Jadi, tak boleh main-main atau meremehkan boru (dan suaminya).
Lalu, ini menurutku yang amat menarik dan
sebaiknya diketahui oleh semua perempuan Batak. Begitu ia resmi menikah maka
statusnya tidak saja istri (parsonduk bolon) tapi juga kedudukannya otomatis
akan setara dengan mertuanya, menjadi "ibu kedua" bagi adik-adik
suaminya, dan menjadi 'paniaran' atau menjadi 'ibu' bagi komunitas marga.
Dengan kata lain, sekali ia menikah, ada empat kedudukan yang dimilikinya--termasuk jadi ibu bagi anak-anak kandungnya. Sedemikian berarti dan terhormatnya perempuan bagi masyarakat adat Batak hingga orangtua yang paham adat dan tata krama ala Batak, jauh-jauh hari sudah menyiapkan anak gadisnya agar bisa mendekati standar perilaku yang dianggap ideal yang disebut 'boru ni raja' itu.
Dengan kata lain, sekali ia menikah, ada empat kedudukan yang dimilikinya--termasuk jadi ibu bagi anak-anak kandungnya. Sedemikian berarti dan terhormatnya perempuan bagi masyarakat adat Batak hingga orangtua yang paham adat dan tata krama ala Batak, jauh-jauh hari sudah menyiapkan anak gadisnya agar bisa mendekati standar perilaku yang dianggap ideal yang disebut 'boru ni raja' itu.
Aku tak bermaksud menjadi chauvinistik, tapi
mana ada suku-bangsa di dunia ini yang menempatkan posisi perempuan (menikah)
sedemikian penting sebagamana disebutkan di atas? Ada pula anggapan atau
persepsi yang keliru tentang makna 'sinamot' (semacam mahar), sebetulnya bila
dipahami secara benar, sinamot bukanlah 'uang jual-beli' seorang boru! Itu
semacam balasan atau imbalan yang dianggap sepatutnya diberikan pihak laki-laki
(paranak) kepada orangtua calon istri: sebagai bukti bahwa boru mereka akan
'dirajakan' atau dihormati dengan cara dijadikan istri bagi anak lelaki pihak
yang meminang, atau akan jadi menantu untuk orangtua lelaki dan kelak menjadi
'paniaran' bagi marga sang lelaki.
Zaman dulu, ketika uang belum dikenal, sinamot
itu lazim diberi berupa ternak yang dianggap berharga mahal: kerbau, sapi,
kuda. Jumlahnya tergantung kesepakatan dan kemampuan pihak laki-laki atau
permintaan pihak perempuan, bisa 30 ekor kerbau tapi bisa pula satu ekor--di
luar ternak yang akan dipotong untuk keperluan pesta.
Yang mengajukan dan melakukan tawar-menawar
atas sinamot itu pun tidak boleh orangtua si perempuan kandung, tapi dilakukan
oleh adik-kakak dan kerabat si bapak. (Karena itu disebut: pamarai,
harafiahnya, yang ditugaskan melihat sinamot berupa kerbau atau sapi tersebut
ke 'bara ni jabu' atawa kandang ternak itu).
Itu ada maknanya: untuk menjaga harga diri
bapaknya si boru! Kenapa harus dijaga? Sebetulnya, mengawinkan seorang boru bukanlah
peristiwa biasa bagi kedua orangtuanya--terutama bagi ayahnya. Sesungguhnya ada
dilema yang amat dahsyat dalam batin sang bapak melepaskan boru-nya namun tak
diungkapkan. Umumnya terbilang berat bagi setiap bapak untuk melepas boru-nya
ke keluarga lain, barangkali karena secara emosional seorang ayah lebih dekat
dengan anak perempuannya ketimbang pada anak lelakinya; di sisi lain bila
boru-nya tidak menikah akan dianggap salah juga, sebab selain akan jadi
gunjingan, diharapkan pula 'hagabeon' itu diberikan boru-nya (berketurunan).
karena perempuan yang sudah menikah telah menjadi ibu bagi keluarga suaminya,
juga 'paniaran' untuk marga suaminya, maka tentu ia harus mendahulukan keluarga
dan klan suaminya. Warisan yang berhak dan sepatutnya ia dapatkan pun dari
kakek-mertuanya, bukan lagi dari orangtua kandung atau dari ompung-nya. Yang
berhak atas harta-benda orangtua kandungnya ialah: perempuan yang kemudian
menjadi istri saudara lelakinya.
Bila ternyanya mertuanya tidak punya banyak
harta sebagaimana orangtua kandungnya, apa boleh buat, itu sudah pilihannya.
Dan, bukankah keagungan sebuah pernikahan bukan karena faktor harta? Demikian
pun, anak perempuan tetap boleh mendapat harta warisan dari orangtua kandungnya
(bila ada dan diberikan secara sukarela), yang disebut 'pauseang' (lazimnya:
sawah, ladang).
Dengan penjelasan secara umum di atas, lalu
apa alasannya sepupumu itu menganggap kedudukan perempuan Batak inferior di
tengah komunitasnya? Nampaknya, ia hanya tidak paham saja, dan itu bukan karena
kesalahannya belaka, melainkan: orangtuanya yang tidak secara baik menjelaskan
makna adat dan kedudukan perempuan bagi masyarakat beretnis Batak, yang
sesungguhnya amat mahal dan berharga itu.
Bila dalam realitasnya banyak perempuan Batak
yang harus banting tulang atau kerja keras mencari nafkah dan menyekolahkan
anak-anaknya sementara suaminya lebih suka nongkrong di kedai kopi/lapo tuak,
itu karena penyimpangan! Bukan anutan adat atau pandangan hidup masyarakat
Batak.
Sejatinya, atau idealnya, lelaki Batak itu
seseorang yang tangguh, mampu menempatkan dirinya laksana pohon rindang (hau
nabolon) bagi istri-anak, orangtua, sanak-saudara, dan kerabat marganya. Dari
situlah tumbuh harkat, martabat, dan harga dirinya sebagai 'anak ni raja'.
1 Komentar:
nanya nih....
Ada Perempuan batak namanya memakai "boru" ada yang tidak (ditulis langsung)...bedanya apa...? yang betul yang mana
contoh :
ayu br tarigan
dan
ema hutahuruk...
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda