Selasa, 15 November 2011

Perbedaan Status Perempuan Dengan Laki – laki Dalam Suku Batak Toba..


Dwi Theresia Sipangkar
3103122006
Antropologi Gender
PENDIDIKAN ANTROPOLOGI SOSIAL

Perbedaan Status Perempuan Dengan Laki – laki Dalam Suku Batak Toba..
Dalam suku batak toba, perbedaan status lelaki dengan perempuan sangatlah mudah untuk dilihat. Hal ini karena dalam suku batak, laki – laki merupakan pembawa marga  ( garis keturunan laki – laki. Jadi anak laki – laki dalam batak  sangat istimewa kedudukannya. 
Contoh yang dapat kita lihat dari suku batak toba ialah
Dalam suku adat batak toba, jika dalam sebuah perkawinan muda telah berujung dalam maut dimisalkan saja yang meninggal adalah seorang perempuan dan  Perempuan tersebut meninggalkan anak dan suaminya. Setelah istrinya dikuburkan dan dalam kelang waktu beberapa saat, sang anak yang di tinggalkan ibunya tadi pasti akan diminta sang mertua atau sang ibunya untuk merawat anaknya tersebut, dan sang suaminya tadi pergi meninggalkan anaknya dengan alasan untuk mencari pekerjaan. Ketika sang suami tersebut mempunyai keinginan untuk menikah lagi, pasti sang ayah langsung diizinkan oleh keluarganya dan biasanya jika sang istri mempunyai adik perempuan, tidak jarang adik perempuan itu di nikahinya, tetapi bagaimana jika yang meninggal adalah sang laki – laki dan yang ditinggalkan adalah anak dan istrinya? Apa yang akan terjadi kepada sang perempuan? Apakah sang perempuan mendapatkan hak istemewa seperti apa yang didapat oleh si laki – laki?
Sebuah realita yang nyata yang dapat kita lihat di kehidupan kita sehari – hari, tak jarang perempuan batak yang telah di tinggalkan oleh suaminya tetap hidup sendiri (janda) dan mengurus anak dengan seorang diri.  Jika si perempuan meminta untuk menikah lagi, pasti tak diizinkan oleh pihak keluarga dan  banyak dibicarakan oleh orang lain. Dalam hal ini saja dapat terlihat bahwa dalam suku batak, khususnya dibatak toba adanya perbedaan gender yang terjadi. Status dan kedudukan sang laki – laki lebih di hak istemewakan dari pada hak seorang istri. Maka dapat kita lihat, tidak jarang perempuan batak yang janda hidup sendiri, ia harus sanggup sebagai seorang ayah yang dapat membiayai anak – anaknya dan seorang ibu  yang dapat mengurus anak – anaknya. Hidup bekerja keras untuk membiayai keluarganya. Padahal jika kita pikir – pikir, seorang perempuan juga adalah manusia yang mempunyai perasaan dan kebutuhan. Perempuan juga butuh teman untuk tidur dan teman untuk berbagi cita dan duka.  
Selain itu perbedaan gender batak toba kita lihat dimana jika kita pergi ke huta (          perkampungan batak ) dapat kita lihat ibu ibunya bekerja keras baik itu dirumah maupun diladang untuk memnuhi kebutuhan keluarganya, tetapi sang suami malah enak – enak  di kedai tuak berminum – minum dn bersenang – senang. Jika sang suami pulang kerja kerumah ia harus dilayani, dari mempersiapkan makanan, air mandinya dll. Jika semua permintaanya  tidak diberikan ia akan marah – marah dan memukul sang istri.
Perbedaan gender juga terjadi kepada sang anak. Anak laki – laki dan anak perempuan.  Dalam suatu rumah tangga, jika mereka tidak mempunyai anak laki – laki mereka akan berusaha selalu membuat anak sampai mereka mempunyai anak laki – laki. Karna laki – laki itu merupakan menjadi garis keturunan sang ayah dan pembawa marga. Maka anak laki – laki sangat istimewa, sehingga dalam kehidupan sehari – hari anak laki – laki sangat di anak emaskan. Didalam kehidupan sehari – hari, anak laki – laki juga sangt ditabukan untuk melakukan pekeeerjaan perempuan, anak laki – laki hanya disiapkan untuk menjadi anak yang sukses dan di tuntut untuk belajar dan belajar. Anak laki – laki walaupun dia masih duduk dibangku sekolah ( sma) kedua orang tuanya sudah mempersiapkan anak laki – lakinya mau kemana ia akan menempuh hidupnya, misalnya ia akan dipersiapakan mau kemana ia akan di sekolahkan tingkat tinggi, orang tuanya tidak peduli mau brp hartanya habis asalkan anak laki – lakinya dapat sukses. Bandingkan bagaimana jika keadaan itu terjadi pada anak perempuannya? Orang tuaya akan berpikir 10 x untuk menyekolahkan perempuannya tersebut, karena ayahnya berpikir anak perempuan ngapain disekolahkan tinggi – tinggi toh juga anak perempuannya nanti hanya bekerja di dapur.
Jika kita analisis kasus ini, bagaimana tanggapan teman – teman? Menurut saya perbedaan gender telah banyak membuat para perempuan tersiksa baik itu secara fisik dan psikologisnya( batinnya). Maka perbedaan gender di masyarakat batak toba sebaiknya perlu si indahkan. Agar tidak ada yang tersakiti da menyakiti hati perasaan manusia. Laki dan perempuan merupakan makluk Tuhan, derajatnya sama.. Cuma satu perbedaan diantara perempuan dan laki – laki yaitu perempuan dapat mengandung dan melahirkan sedangkan laki – laki tidak dapat. Perempuan sekarang dapat juga melakukan pekerjaan yang dilakukan oleh laki – laki yaitu mencari nafkah. Derajat perempuan dan laki – laki boleh disamakan dan ayah tetap kepala keluarga.
MENURUTKU, tak seluruhnya benar anggapan atau pendapat yang mengatakan bahwa perempuan menjadi inferior dalam sistem sosial masyarakat Batak--dan sebaliknya, lelaki, berposisi superior. Benar, etnis Batak menganut garis patrinial, namun tak berarti hak dan kedudukan perempuan jadi tereduksi oleh sistem tersebut secara ekstrim.
Baiklah kita amati dan buktikan dalam aktivitas kehidupan maupun hajatan adat. Peran serta perempuan begitu aktif. Bahwa perempuan menjadi 'parhobas' dlm acara adat, itupun harus dilihat posisinya dalam acara itu. Bila ia, misalnya, berkedudukan sebagai 'paniaran' atau 'hula-hula' (istri tulang, istri saudara laki-laki), tentu ia tidak dibolehkan 'marhobas' (yang mengurusi pesta atau hajatan, termasuk melayani tetamu), sebab dianggap tidak pantas karena tugas tersebut merupakan kewajiban perempuan (yang sudah menikah atau masih lajang) yang berstatus 'boru' dalam kenduri adat tersebut.
Para 'paniaran' atau 'nantulang' maupun 'eda' (ipar perempuan), dipersilakan duduk manis di tengah hajatan, tidak usah menyampuri dapur atau harus ikut melayani tetamu. Tetapi di hajatan lain, di mana ia tengah berposisi sebagai 'boru', tugas 'marhobas' itu sewajarnyalah ia lakukan, itu pun bukan suatu hal yang imperatif atau memaksa, sebab bila misalnya ada boru yang enggan terlibat, toh dibiarkan saja--paling disindir para kerabatnya
Artinya, sistem adat Batak sebetulnya 'fair', 'just', memberi giliran bagi seseorang: di mana ia menjadi "bos" dan kapan ia jadi "pelayan". Jangan salah pula, meski kedudukannya saat itu sebagi 'boru', ia pun harus diperlakukan dengan baik (dielek), ada jambar untuk mereka (hak adat, bisa berupa daging, kata sambutan/tanggapan, dll) untuk mereka, juga ikan (dengke). Bila boru ngambek, misalnya, hajatan (ulaon) bisa terancam gagal! Jadi, tak boleh main-main atau meremehkan boru (dan suaminya).
Lalu, ini menurutku yang amat menarik dan sebaiknya diketahui oleh semua perempuan Batak. Begitu ia resmi menikah maka statusnya tidak saja istri (parsonduk bolon) tapi juga kedudukannya otomatis akan setara dengan mertuanya, menjadi "ibu kedua" bagi adik-adik suaminya, dan menjadi 'paniaran' atau menjadi 'ibu' bagi komunitas marga.

Dengan kata lain, sekali ia menikah, ada empat kedudukan yang dimilikinya--termasuk jadi ibu bagi anak-anak kandungnya. Sedemikian berarti dan terhormatnya perempuan bagi masyarakat adat Batak hingga orangtua yang paham adat dan tata krama ala Batak, jauh-jauh hari sudah menyiapkan anak gadisnya agar bisa mendekati standar perilaku yang dianggap ideal yang disebut 'boru ni raja' itu.
Aku tak bermaksud menjadi chauvinistik, tapi mana ada suku-bangsa di dunia ini yang menempatkan posisi perempuan (menikah) sedemikian penting sebagamana disebutkan di atas? Ada pula anggapan atau persepsi yang keliru tentang makna 'sinamot' (semacam mahar), sebetulnya bila dipahami secara benar, sinamot bukanlah 'uang jual-beli' seorang boru! Itu semacam balasan atau imbalan yang dianggap sepatutnya diberikan pihak laki-laki (paranak) kepada orangtua calon istri: sebagai bukti bahwa boru mereka akan 'dirajakan' atau dihormati dengan cara dijadikan istri bagi anak lelaki pihak yang meminang, atau akan jadi menantu untuk orangtua lelaki dan kelak menjadi 'paniaran' bagi marga sang lelaki.
Zaman dulu, ketika uang belum dikenal, sinamot itu lazim diberi berupa ternak yang dianggap berharga mahal: kerbau, sapi, kuda. Jumlahnya tergantung kesepakatan dan kemampuan pihak laki-laki atau permintaan pihak perempuan, bisa 30 ekor kerbau tapi bisa pula satu ekor--di luar ternak yang akan dipotong untuk keperluan pesta.
Yang mengajukan dan melakukan tawar-menawar atas sinamot itu pun tidak boleh orangtua si perempuan kandung, tapi dilakukan oleh adik-kakak dan kerabat si bapak. (Karena itu disebut: pamarai, harafiahnya, yang ditugaskan melihat sinamot berupa kerbau atau sapi tersebut ke 'bara ni jabu' atawa kandang ternak itu).
Itu ada maknanya: untuk menjaga harga diri bapaknya si boru! Kenapa harus dijaga? Sebetulnya, mengawinkan seorang boru bukanlah peristiwa biasa bagi kedua orangtuanya--terutama bagi ayahnya. Sesungguhnya ada dilema yang amat dahsyat dalam batin sang bapak melepaskan boru-nya namun tak diungkapkan. Umumnya terbilang berat bagi setiap bapak untuk melepas boru-nya ke keluarga lain, barangkali karena secara emosional seorang ayah lebih dekat dengan anak perempuannya ketimbang pada anak lelakinya; di sisi lain bila boru-nya tidak menikah akan dianggap salah juga, sebab selain akan jadi gunjingan, diharapkan pula 'hagabeon' itu diberikan boru-nya (berketurunan). karena perempuan yang sudah menikah telah menjadi ibu bagi keluarga suaminya, juga 'paniaran' untuk marga suaminya, maka tentu ia harus mendahulukan keluarga dan klan suaminya. Warisan yang berhak dan sepatutnya ia dapatkan pun dari kakek-mertuanya, bukan lagi dari orangtua kandung atau dari ompung-nya. Yang berhak atas harta-benda orangtua kandungnya ialah: perempuan yang kemudian menjadi istri saudara lelakinya.
Bila ternyanya mertuanya tidak punya banyak harta sebagaimana orangtua kandungnya, apa boleh buat, itu sudah pilihannya. Dan, bukankah keagungan sebuah pernikahan bukan karena faktor harta? Demikian pun, anak perempuan tetap boleh mendapat harta warisan dari orangtua kandungnya (bila ada dan diberikan secara sukarela), yang disebut 'pauseang' (lazimnya: sawah, ladang).
Dengan penjelasan secara umum di atas, lalu apa alasannya sepupumu itu menganggap kedudukan perempuan Batak inferior di tengah komunitasnya? Nampaknya, ia hanya tidak paham saja, dan itu bukan karena kesalahannya belaka, melainkan: orangtuanya yang tidak secara baik menjelaskan makna adat dan kedudukan perempuan bagi masyarakat beretnis Batak, yang sesungguhnya amat mahal dan berharga itu.
Bila dalam realitasnya banyak perempuan Batak yang harus banting tulang atau kerja keras mencari nafkah dan menyekolahkan anak-anaknya sementara suaminya lebih suka nongkrong di kedai kopi/lapo tuak, itu karena penyimpangan! Bukan anutan adat atau pandangan hidup masyarakat Batak.
Sejatinya, atau idealnya, lelaki Batak itu seseorang yang tangguh, mampu menempatkan dirinya laksana pohon rindang (hau nabolon) bagi istri-anak, orangtua, sanak-saudara, dan kerabat marganya. Dari situlah tumbuh harkat, martabat, dan harga dirinya sebagai 'anak ni raja'.

1 Komentar:

Pada 24 November 2017 pukul 03.38 , Blogger Unknown mengatakan...

nanya nih....
Ada Perempuan batak namanya memakai "boru" ada yang tidak (ditulis langsung)...bedanya apa...? yang betul yang mana
contoh :
ayu br tarigan
dan
ema hutahuruk...

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda